| | |
| SHALAT Oleh Siswanto Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang dilakukan dengan penuh kekhusyukan. . Sebuah hadits Nabi saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka rusak pulalah seluruh amalnya." Dan sabda beliau lagi, "Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya ialah perjuangan di jalan Allah." Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur. Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram) Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental, dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim (al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama Islam." Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan", yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a 'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas - "hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap menghadap Allah. Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu), dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup), karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan, perantaraan, ataupun tolong-menolong. Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya"; dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits. Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di Sidrat al-Muntaha. Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya: "Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai: "Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku!" Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya" Maka dalam literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah "Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan "Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk). Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah). Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani, bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia menuju kebenaran (hanif). Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs, kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu. Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah), diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim). Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim, dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk menemukan kebenaran. Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran. Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." . Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted," termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali. Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri yan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya ia menempuh jalan yang keliru. Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya" tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang mendapatkan murka dari Allah. Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka, dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban "berwaktu" atas kaum beriman. Yaitu, diwajibkan pada waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh), diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar), lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi, kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan, lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar, dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras mendekati Tuhan. Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat jugamengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benarjuga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagaiproses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakanmetafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengansendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalamsistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergeraksecara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidakditerima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeriatau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena iatoh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkannegeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luasini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kitakerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuktidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasiyang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karenamerasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandungmakna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, danitu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatukesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akanmenyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanyakita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satudari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang finalitu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Danmanapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa pahamTauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatuapa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yangsemisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengansesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkinterjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalamKitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhanselain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidakmenangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalahMaha Lembut, Maha Teliti." [21] Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinyamenjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kitapanjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalanyang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengansyahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkanpermohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagaikondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalatkita. MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM) Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinyasendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah danberkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melaluitingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebutbermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagaisarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri. Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangatlogis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafanmenghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, makatentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampakpada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripadadampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itumerupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalamkata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudankeluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudipekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilahmakna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidakmenghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"akan sia-sia belaka. Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyakdikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadaengkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlahshalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dankeji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekaliankerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwasalah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialahbahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuatjahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya darikejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melaluishalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai halyang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraanyang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertianyang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kuranglebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegasmenganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Makacelakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalatmereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi engganmemberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalatseharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanansosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuhsantun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkannasib orang miskin. Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budiluhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapansalam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doauntuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkansebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Denganbegitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan denganAllah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengansesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidakmenghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkanmenjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifatpalsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnyaperingatan dalam firman itu. Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwafmenguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentukibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkanmanusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang MahaAgung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmahrahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusiayang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satumenyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebihhebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karenamanusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini makadiadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karenaitulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalampembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya. Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dankeinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebutibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentukmanusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkansekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata. Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajibanyang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allahmemerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninyasaja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegakdan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, denganmenghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasiltujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kitadengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yangkotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnyamanusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, iabanyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyakmencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalanishalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaantertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmahrahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan muliaberupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatanbudi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yangshalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu merekayang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena merekamengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagailupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwayang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan MahaAgung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dankeluhuran kebaikan-Nya. Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapatdilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan ataupersetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaituperbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpamemperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya sertafaedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yangsebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguhamat disayangkan! [27] Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agamadari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajamtentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan: Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannyaKecuali golongan yang beruntung (kanan)Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,tentang nasib orang-orang yang berdosa:"Apa yang membawa kamu ke neraka?"Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasukorang-orang yang shalat,Dan tidak pula kami pernahmemberi makan orang-orang melaratLagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlenaDan kami dustakan adanya hari pembalasanSampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28] Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masukneraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yangmenanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidupini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawabsosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikantanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidupegois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka punlupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harusmempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada haripembalasan (akhirat). Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selainmenanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuahide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknyamasyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhanmelalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruhwarga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun pahammengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keraskepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yangkosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dankomitmen sosial yang meluas. CATATAN 1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS. al-Mu'minun 23:1-2). 2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf, Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9. 3. Ibid.,hal. 13 4. Ibid., hal. 24 5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan (yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS. al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia "menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83). 6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari "wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah). (Lihat QS. al-An'am/6:161-162). 7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254. 8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab, "Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau." 9. QS. al-Hadid 57:4 10. QS. Thaha 20:14. 11. QS. al-Baqarah/2:156. 12. QS. al-A'raf/7:65. 13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali 'Imran/3:137. 14. QS. al-Nisa'/4:103. 15. QS. al-Baqarah/2:238. 16. QS. al-Insyirah/94:7-8. 17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam, yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode). 18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97. 19. QS. al-Ikhlash/112:4. 20. QS. al-Syura/42:11. 21. QS. al-An'am/6: 102-3. 22. QS. al-Ankabut/29:45. 23. QS. al-Ma'un/107:1-~. 24. QS. al-Ankabut/29:45. 25. QS. al-Ma'arij/70:19-22. 26. QS. al-Ma'un/107: 27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968 M). h. 55-57. 28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47. |
Jumat, 06 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar