Senin, 02 Januari 2012

AL-FATIKHA



Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta di segala macam yang
diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah
Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.

Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat
"iyyaka na'budu ..." Abah Latif biasanya lantas terhenti ucapannya, menangis
tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu,
Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka
nasta'in ...".

Banyak di antara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang ada satu dua
yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.

"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar,"
berkata Abah Latif seusai shalat bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam
Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan.
'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang
demikianlah hakikat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain
di dalam hakikat itu."

"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang mulut para santri.

"Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam
mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"

"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan
bimbingan Allah itu sendiri, Abah?" bertanya seorang santri.

"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak,kita hanya boleh mengucapkan
kehidupan."

"Belum jelas benar bagiku, Abah."

"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan
kenyataan."

"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang mulut para santri.

Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas
mengucapkan iyyaka na'budu. KepadaMu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslim masih
belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepadaMu kami
menyembah, na'budu."

"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita
sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan wahidah. Ketika sampai di
kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah,
yakni kahlifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum
Muslim dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam
setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah
memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslim telah membawa urusan
rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala
urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa
mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak
bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"

"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang para santri.

"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi
khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan
sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka
nast'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong
kepadaNya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta
pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih
banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada
hakikatnya melawan Allah."

"Astaghfirullah, astaghfirullah," gemeremang para santri.

"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di
sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia
yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.
Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupanmu untuk tetap bisa menangis.
Karena alhamdulillah, seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan
untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup
mengantarkan kita kepadaNya."

1987.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar