Minggu, 15 Januari 2012

PROPOSAL SKRIPSI


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Pengemis seringkali dianggap sebagai “sampah masyarakat”, karena baik pemerintah maupun masyarakat merasa terganggu oleh kehadiran mereka yang lalu lalang di perempatan lalu lintas, di pinggir jalan, di sekitar gedung perkantoran, pertokoan, dan banyak tempat-tempat lain yang seringkali di jadikan tempat beroperasi. Belakangan ini pengemis, pengamen, dan gelandangan semakin banyak berkeliaran di jalanan, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, termasuk kota Malang. Di kota Malang sendiri misalnya, mereka beroperasi di perempatan atau pertigaan jalan, di pinggir jalan dan di sekitar terminal. Pemuda, remaja, pasangan suami-istri, anak-anak, dan perempuan renta semakin menyesaki ruang publik kita. Itulah yang menyebabkan sebagian besar dari kita merasa sangat terganggu dengan keberadaan mereka yang hampir ada dimana-mana dan membuat kita merasa tidak nyaman. Mungkin hal-hal tersebut yang akhirnya membuat pemerintah dan masyarakat menganggap mereka sebagai “sampah masyarakat”. Sering kita melihat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merazia Pengemis dan Gelandangan untuk dibawa ke Dinas Sosial dengan alasan dan dalih untuk ‘Di Bina dan Dididik’ secara baik sehingga mereka tidak kembali ke jalan lagi. Pada saat kita pergi kita sering melihat banyak pengemis, pengamen, dan lain-lain.
Hal Itu merupakan salah satu akibat dari kemiskinan. Kemiskinan memang saat ini masih belum ada solusinya, tetapi tampaknya Pemerintah masih belum maksimal dalam menangani masalah kemiskinan. Dan itu bukan hanya salah Pemerintah saja tetapi kita juga harus dapat mengatasii kemiskinan tersebut, karena untuk mengubah kemiskinan harus dibutuhkan mental yang bagus. Kemiskinan memang dapat mengganggu kesejahteraan masyarakat, dan itu sangat tampak dari semakin banyaknya pengemis dan pengamen jalanan dimana-mana yang kadang mengganggu kenyamanan kita. Mungkin kemiskinan terjadi karena tidak dapat membiayai kehidupan secara langsung. Dan itulah yang terjadi sekarang ini, bahwa kemiskinan sekarang ada dimana-mana dan menyebabkan semakin bertambahnya ‘sampah masyarakat’.
Islam menyikapi pengemis :
Dari beberapa referensi yang saya dapatkan, didapat kesimpulan bahwa ISLAM MEMBOLEHKAN PENGEMIS (MINTA-MINTA).
Hal ini didasarkan hadits Rasululloh SAW,“Sesungguhnya meminta-minta itu sama dengan luka-luka yang dengan meminta-minta itu berarti seseorang melukai mukanya sendiri. Oleh karena itu, siapa mau silakan menetapkan luka itu pada mukanya, dan siapa mau silakan meninggalkan, kecuali meminta kepada sultan atau meminta untuk suatu urusan yang tidak didapat dengan jalan lain.” (HR Abu Daud dan Nasai)
Akan tetapi, meski demikian, Rasululloh SAW juga menyarankan untuk bekerja daripada mengemis, karena BEKERJA ITU LEBIH BAIK DARIPADA MENGEMIS. Dasarnya adalah hadits berikut,“Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak.” (Mutafaq’alaih)
Ini menunjukkan keutamaan dari bekerja. Karena pengemis, sebagaimana hadits di atas, kadang diberi kadang tidak..selain itu, mengemis CENDERUNG MENGHINAKAN DIRINYA SENDIRI (menorehkan luka di muka, sebagaimana hadits sebelumnya). Sementara jika bekerja, peluang laku (apalagi jika kerja di bidang yang dibutuhkan banyak orang) akan lebih besar. Selain itu, BEKERJA JUSTRU AKAN MEMULIAKAN DIRI. Dengan catatan, bahwa KERJA DI BIDANG YANG HALAL.
Selain itu, yg perlu diperhatikan adalah MENGEMIS HANYA BOLEH DILAKUKAN OLEH ORANG YG TIDAK MAMPU BEKERJA LAGI. Mari kita perhatikan hadits berikut,“Sedekah tidak halal buat orang kaya dan orang yang masih mempunyai kekuatan dengan sempurna.”(HR Tarmidzi)
Hadits yang lebih ‘keras’ bisa kita lihat,”Siapa yang meminta-minta pada orang lain untuk menambah kekayaan hartanya berarti dia menampar mukanya sampai hari kiamat dan makan batu dari neraka jahanam. Oleh karena itu, saa yg mau silakan minta sedikit dan siapa yang mau silakan minta sebanyak-banyaknya.”(HR Tarmidzi)
Dalam Al Qur’an sendiri, memberi uang/sedekah kepada pengemis, merupakan suatu kebajikan. Al Baqarah(2):177,“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Meski demikian menurut panduan Rasulallah SAW “saya membatasi memberi sedekah kepada pengemis, kreteria pengemis yang saya beri sedekah :
1.       Orang tua
2.       Cacat tubuh yang memang tidak memungkinkan dia bekerja
3.       Keluarga nomaden, yang sering berpindah-pindah tempat tinggal. Di Jakarta, kita bisa temukan mereka di banyak tempat. Biasanya mereka tinggal di gerobak. Yang perlu diperhatikan juga, KELUARGA INI TIDAKLAH MENGEMIS, namun mereka berusaha/bekerja sebagai pemulung. Namun, aku LEBIH MENGUTAMAKAN MEMBERI keluarga seperti ini. Setidaknya mereka BERUSAHA/BEKERJA, tidak sekedar mengemis
Pengemis yang tidak saya beri sedekah:
1.       Masih muda apalagi masih anak-anak
2.       Membawa-bawa anak kecil karena ini tindakan mengekploitasi anak
3.       Pengemis yang memasak
Khusus untuk nomor 3, mungkin sedikit ‘aneh’. Pengemis memaksa…apakah ada? Jelas sekali ada pengemis yg berlaku demikian. Kita sedang tidak punya uang kecil (misalnya minimal 5000an), sehingga kita tidak bisa memberi, namun mereka malah memaksa. Saat aku baca sebuah buku hadits, ternyata ALLOH SWT TIDAK MENYUKAI PENGEMIS YANG MEMAKSA.Sesungguhnya Allah membenci orang yang keji, yang berkata kotor dan membenci orang yang meminta-minta dengan memaksa.” (AR. Ath-Thahawi)
            Adapun yang lain adalah dari Qabishah bin Al Mukhariq Al Hilaly, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Hai Qabishah, meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi tiga orang :
Pertama, seorang yang memikul tanggungan hamalah [hutang yang ditanggung dalam usaha mendamaikan 2 pihak yang bertikai], maka ia boleh meminta bantuan hingga ia dapat menutupi hutangnya kemudian berhenti meminta.
Kedua, seorang yang tertimpa musibah yang meludeskan seluruh hartanya, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Ketiga, seseorang yang ditimpa kemelaratan, hingga 3 orang yang berakal dari kaumnya membuat persaksian : “Si Fulan telah ditimpa kemelaratan”, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat memenuhi kebutuhannya. Selain dari 3 itu hai Qabishah, hanyalah barang haram yang dimakan oleh si peminta-minta (H.R Bukhori-Muslim). Melalui hadits tersebut kita ketahui bahwa meminta-minta / mengemis hanya diperbolehkan bagi 3 golongan manusia dan itupun hingga memenuhi kebutuhan pokoknya saja.
Kemudian, dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rasul, maka Allah telah berfirman: ‘Wahai para Rasul, makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih. Dan Dia berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu.’ Kemudian beliau (Shalallhu’alaihi wasallam) menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, berambut kusut, dan berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhan, wahai Tuhan” , sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana orang seperti ini dikabulkan do’anya”. [HR Muslim]
Hakikat manusia untuk bekerja dalam islam adalah Sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah, manusia harus menjalankan tugas dan amanat kekhalifahannya di muka bumi dengan baik. Hidup tak boleh dimaknai hanya sebagai anugerah (kenikmatan), tetapi juga amanah yang menuntut tugas dan tanggung jawab.
Manusia harus bekerja keras agar mampu mewariskan kebaikan yang besar (leaving a legacy) bagi umat manusia. Kalau bisa, itu lebih besar ketimbang usia yang diberikan Tuhan kepadanya. Dalam memaknai pekerjaan yang dilakukan, manusia memiliki pemahaman yang beragam dan berbeda-beda. Sekurang-kurangnya, ada empat tingkatan dalam soal ini.
Pertama, orang yang bekerja untuk hidup (to live), bukan hidup untuk bekerja. Ia memaknai pekerjaannya sekadar mencari sesuap nasi. Motif utama pekerjaannya adalah fisik-material. Ini merupakan fenomena kebanyakan orang ('ammat al-nas).
Kedua, orang yang bekerja untuk memperkaya perkawanan (to love). Ia memaknai pekerjaannya tak hanya mencari harta, tetapi memperbanyak pergaulan dan pertemanan. Motif utama pekerjaannya adalah relasi-sosial, silaturahim, atau komunikasi antarsesama manusia (interhuman relations). 
Ketiga, orang yang bekerja untuk belajar (to learn). Ia memaknai pekerjaannya sebagai wahana mencari ilmu, menambah pengalaman, dan menguji kemampuan. Jadi, berbeda dengan kedua orang sebelumnya, motif utama kerja orang ketiga ini adalah intelektual.
Lalu, keempat, orang yang bekerja untuk berbagi kenikmatan dan mewariskan kebaikan sebesar-besarnya kepada orang lain (to leave a legacy). Ia memaknai pekerjaannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Motif utama pekerjaannya adalah rohani (spiritual). Firman Allah, "Dan, aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS Al-Dzariyat [51]: 56).
Orang keempat inilah orang terbaik seperti ditunjuk oleh sabda Nabi SAW, "Khair-u al-nas anfa'uhum li al-nas (sebaik-baik manusia adalah orang yang paling besar mendatangkan manfaat bagi orang lain)." (HR Thabrani dari Jabir).
Menurut pengarang kitab Faydh al-Qadir, al-Manawi, manfaat itu bisa diberikan melalui ihsan, yakni kemampuan kita berbagi kebaikan kepada orang lain, baik melalui harta (bi al-mal) maupun kuasa (bi al-jah) yang kita miliki. Warisan kebaikan itu, menurut al-Manawi, bisa berupa sesuatu yang manfaatnya duniawi, seperti donasi dan bantuan material, atau bisa juga berupa sesuatu yang bernilai agama (ukhrawi), seperti ilmu, pemikiran, dan ajaran yang mencerahkan dan membawa manusia kepada kebaikan.
Malahan, menurut al-Manawi, warisan dalam wujud yang kedua ini dianggap lebih mulia dibanding yang pertama. Mengapa? Sebab, yang kedua ini mendatangkan manfaat lebih besar bagi manusia, tak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Wallahu a'lam.
Gambaran al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
            Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama– bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
   Sebagai kesimpulan dapatlah diterangkan bahwa kualitas manusia berada diantara naluri dan nurani. Dalam rentetan seperti itulah manusia berperilaku, baik perilaku yang positif maupun yang negatif. Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Namun intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus diikuti dengan nurani yang tajam dan bersih. Nurani (mata batin, akal budi) dipahami sebagai superego, sebagi conscience atau sebagai nafsu muthmainnah (dorongan yang positif). Prof. Dr. Fuad Hasan mengatakan bahwa bagi manusia bukan sekedar to live (bagaimana memiliki) dan to survive (bagaimana bertahan), melainkan juga to exist (bagaimana keberadaannya). Untuk itu, maka manusia memerlukan pembekalan yang kualitatif dan kuantitatif yang lebih baik daripada hewan.
Manusia bisa berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan kehendak. Tetapi kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari kendali rohani dan akal sehat, melainkan upaya kualitatif untuk mengekspresikan totalitas kediriannya, sambil berjuang keras untuk menenangkan diri sendiri atas dorongan naluriah yang negatif dan destruktif. Jadi kebebasan yang dimaksudkan disini adalah upaya sadar untuk mewujudkan kualitas dan nilai dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi secara bertangung jawab.
Kualitas dan nilai manusia akan terkuak bila manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan pertimbangan aqliah yang dikaruniai Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya yang paling murni. Wallaahu A’lam.


B.     RUMUSAN MASALAH

1.       Bagaimana menilai setiap karakter individu pengemis jalanan
2.       Bagaimana faktor penyebab terjadinya pengemis
3.       Apa Dampak-dampak yang terjadi dari banyaknya pengemis jalanan

C.     TUJUAN PENELIITIAN
Tujuan diadakan penelitian ini adalah:
1.       Untuk mengetahui setiap karakter individu pengemis
2.       Untuk mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan pengemis
3.       Untuk mengetahui dampak-dampak yang terjadi sebagai akibat pengemis jalanan


D.     MANFAAT PENELITIAN
A.     Penilitian
1.       Dapat mengetahui nilai karakter individu pengemis jalanan
2.       Dapat mengetahui faktor-faktor apa saja penyebab pengemis
3.       Mengetahui dampak-dampak yang terjadi akibat pengemis
B.      Pengemis
1.       Menjelaskan tentang pengaruh pekerjaan menjadi pengemis
2.       Tidak sesuainya pekerjaan mengemis terhadap nilai sebagai hakikat manusia
C.     Universitas Muhammadiyah Malang (Civic Hukum)
1.      Untuk menguranggi beban Negara soal pengemis maupun sampah masyarakat
2.      Untuk menguranggi pengeluaran uang Negara untuk menyantuni fakir miskin






E.     DEFINISI ISTILAH
KARAKTER
A.     Definisi karakter secara etimologi : “Chracter” (latin) berarti instrument  of narking, “Chressein” (Prancis) berarti to engrave (mengukur); “Watek” (Jawa) bararti ciri wanci “Watak” (Indonesia) bderartti sifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku; budi pekerti; tabiat; perangai
B.     Sedangkan secara terminology  definisi karakter adalah sifat kejiwaan, akhlaq, atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang, “The stamp of individually or group impressed by nature, education or habit
“Karakter adalah kekuatan untuk bertahan di masa sulit”, tentu saja yang di maksud yang baik, solid, dan sudah teruji, karakter yang baik di ketahiu melalui “Respon” yang benar ketika kita mengalami tekanan, tantangan dan kesulitan ( Andri Wongso)Karakter (kamus poerwadarminta) diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlaq, maupun budi pekerti
Imam Ghozali menuturkan bahwa akhlaq adalah segala  sesuatu yang muncul secara spontan tanpa pemikiran yang mendalam
Sebagaimana Helen Keller (1904) mengungkapkan “character cannot be develop ease and
Quite”
10 Karakter berikut ini merupakan pilar utama terbentuknya masyarakat Islam maupun tegaknya sistem Islam di muka bumi serta menjadi tiang penyangga peradaban dunia.
Kesepuluh karakter itu adalah:
    1. Salimul Aqidah, Bersih Akidahnya dari sesuatu hal yang mendekatkan dan menjerumuskan dirinya dari lubang syirik.
    2. Shahihul Ibadah, Benar Ibadahnya menurut AlQur'an dan Assunnah serta terjauh dari segala bid'ah yang dapat menyesatkannya.
    3. Matinul Khuluq, Mulia Akhlaknya sehingga dapat menunjukkan sebuah kepribadian yang menawan dan dapat meyakinkan kepada semua orang bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan Lil 'Alamin).
    4. Qowiyul Jismi, Kuat Fisiknya sehingga dapat mengatur segala kepentingan bagi jasmaninya yang merupakan amanah/titipan dari Allah SWT.
    5. Mutsaqoful Fikri, Luas wawasan berfikirnya sehingga dia mampu menangkap berbagai informasi serta perkembangan yang terjadi disekitarnya.
    6. Qodirun 'alal Kasbi, Mampu berusaha sehingga menjadikannya seorang yang berjiwa mandiri dan tidak mau bergantung kepada orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
    7. Mujahidun linafsihi, Bersungguh sungguh dalam jiwanya sehingga menjadikannya seseorang yang dapat memaksimalkan setiap kesempatan ataupun kejadian sehingga berdampak baik pada dirinya ataupun orang lain.
    8. Haritsun 'ala waqtihi, Efisien dalam memanfaatkan waktunya sehingga menjadikannya sebagai seorang yang pantang menyiakan waktu untuk melakukan kebaikan, walau sedetikpun. karena waktu yang kita gunakan selama hidup ini akan dipertanggungjawabkan dihadapan Alloh SWT.
    9. Munazhom Fii Su'unihi, Tertata dalam urusannya sehingga menjadikan kehidupannya teratur dalam segala hal yang menjadi tanggung jawab dan amanahnya. Dapat menyelesaikan semua masalahnya dengan baik dengan cara yang baik.
    10. Naafi'un Li Ghairihi, Bermanfaat bagi orang lain, sehingga menjadikannya seseorang yang bermanfaat dan dibutuhkan. Keberadaannya akan menjadi sebuah kebahagiaan bagi orang lain dan Ketiadaannya akan menjadikan kerinduan pada orang lain.


PENGEMIS
Menurut kamus bahasa Indonesia pengemis adalah orang yang meminta-minta dan tidur di bawah jembatan
      HAKIKAT MANUSIA
Hakekat manusia adalah sebagai berikut :
A.     Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
B.     Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
C.     yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
D.     Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
E.      Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
F.      Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
G.     Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
H.     Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar para ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah evolusi dari seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut hanya berkaitan dengan bidang studi biologi. Anggapan ini tentu sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam hal ini membuat kita para manusia kehilangan harkat dan martabat kita yang diciptakan sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia.
Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. {“Allah telah menundukkan bagi kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi semuanya.”}(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). {“Allah telah menundukkan bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.”}(Q. S. Ibrahim: 33). {“Allah telah menundukkan bahtera bagi kalian agar dapat berlayar di lautan atas kehendak-Nya.”}(Q. S. Ibrahim: 32), dan ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat (turunan) dari apa-apa yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan keinginan mereka, dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan. Kedudukan akal dalam Islam adalah merupakan suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati.
Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup. Di dalam diri manusia terdapat apa-apa yang terdapat di dalam makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia berkembang, bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak, menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia memiliki rasa kasih sayang dan cinta,
Rasa kebapaan dan sebagai anak, sebagaimana dia memiliki rasa takut dan aman, menyukai harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan rasa suka, merasa senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-perasaan yang melahirkan rasa cinta. Hal itu juga telah menciptakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan pemuasan rasa cintanya itu dan memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari adanya potensi kehidupan yang terdapat dalam dirinya. Oleh karena itu manusia senantiasa berusaha mendapatkan apa yang sesuai dengan kebutuhannya,hal ini juga dialami oleh para mahluk-mahluk hidup lainnya, hanya saja, manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya dalam hal kesempurnaan tata cara untuk memperoleh benda-benda pemuas kebutuhannya dan juga tata cara untuk memuaskan kebutuhannya tersebut. Makhluk hidup lain melakukannya hanya berdasarkan naluri yang telah Allah ciptakan untuknya sementara manusia melakukannya berdasarkan akal dan pikiran yang telah Allah karuniakan kepadanya.
Dewasa ini manusia, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara spermatozoa dengan ovum.
Didalam Al-Qur`an proses penciptaan manusia memang tidak dijelaskan secara rinci, akan tetapi hakikat diciptakannya manusia menurut islam yakni sebagai mahluk yang diperintahkan untuk menjaga dan mengelola bumi. Hal ini tentu harus kita kaitkan dengan konsekuensi terhadap manusia yang diberikan suatu kesempurnaan berupa akal dan pikiran yang tidak pernah di miliki oleh mahluk-mahluk hidup yang lainnya. Manusia sebagai mahluk yang telah diberikan kesempurnaan haruslah mampu menempatkan dirinya sesuai dengan hakikat diciptakannya yakni sebagai penjaga atau pengelola bumi yang dalam hal ini disebut dengan khalifah. Status manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam Surat All-Baqarah ayat 30. Kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah.
Namun kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah. Akan tetapi fungsi dari khalifah itu sendiri sesuai dengan yang telah diuraikan diatas sangatlah luas, yakni selain sebagai pemimpin manusia juga berfungsi sebagai penerus ajaran agama yang telah dilakukan oleh para pendahulunya,selain itu khalifah juga merupakan pemelihara ataupun penjaga bumi ini dari kerusakan.











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     Karakter
1.      Pengertian karakter
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.
Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan.
B. MEKANISME PEMBENTUKAN KARAKTER
1. Unsur dalam Pembentukan Karakter
Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran karena pikiran, yang di dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya. Jika program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal, maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika program tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran harus mendapatkan perhatian serius.
Tentang pikiran, Joseph Murphy mengatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat satu pikiran yang memiliki ciri yang berbeda. Untuk membedakan ciri tersebut, maka istilahnya dinamakan dengan pikiran sadar (conscious mind) atau pikiran objektif dan pikiran bawah sadar (subconscious mind) atau pikiran subjektif. Penjelasan Adi W. Gunawan mengenai fungsi dari pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip.
Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata yang sudah terbentuk ketika masih di dalam kandungan. Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi tersebut akan tenang di dekapan ibunya karena dia sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif.
Untuk memahami cara kerja pikiran, kita perlu tahu bahwa pikiran sadar (conscious) adalah pikiran objektif yang berhubungan dengan objek luar dengan menggunakan panca indra sebagai media dan sifat pikiran sadar ini adalah menalar. Sedangkan pikiran bawah sadar (subsconscious) adalah pikiran subjektif yang berisi emosi serta memori, bersifat irasional, tidak menalar, dan tidak dapat membantah. Kerja pikiran bawah sadar menjadi sangat optimal ketika kerja pikiran sadar semakin minimal.
Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi. Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang lahir dari hasil kesimpulan nalar dari pikiran sadar terhadap objek luar yang diamatinya. Karena, pikiran bawah sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar, maka pikiran sadar diibaratkan seperti nahkoda sedangkan pikiran bawah sadar diibaratkan seperti awak kapal yang siap menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau salah. Di sini, pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek luar.
Kita ambil sebuah contoh. Jika media masa memberitakan bahwa Indonesia semakin terpuruk, maka berita ini dapat membuat seseorang merasa depresi karena setelah mendengar dan melihat berita tersebut, dia menalar berdasarkan kepercayaan yang dipegang seperti berikut ini, “Kalau Indonesia terpuruk, rakyat jadi terpuruk. Saya adalah rakyat Indonesia, jadi ketika Indonesia terpuruk, maka saya juga terpuruk.” Dari sini, kesan yang diperoleh dari hasil penalaran di pikiran sadar adalah kesan ketidakberdayaan yang berakibat kepada rasa putus asa. Akhirnya rasa ketidakberdayaan tersebut akan memunculkan perilaku destruktif, bahkan bisa mendorong kepada tindak kejahatan seperti pencurian dengan beralasan untuk bisa bertahan hidup. Namun, melalui pikiran sadar pula, kepercayaan tersebut dapat dirubah untuk memberikan kesan berbeda dengan menambahkan contoh kalimat berikut ini, “...tapi aku punya banyak relasi orang-orang kaya yang siap membantuku.” Nah, cara berpikir semacam ini akan memberikan kesan keberdayaan sehingga kesan ini dapat memberikan harapan dan mampu meningkatkan rasa percaya diri.
Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita memahami bahwa pengendalian pikiran menjadi sangat penting. Dengan kemampuan kita dalam mengendalikan pikiran ke arah kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita lepas kendali sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka kita akan terus mendapatkan penderitaan-penderitaan, disadari maupun tidak.
2. Proses Pembentukan Karakter
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan, mari kita kaji ilustrasi berikut ini.. Di dalam sebuah ruangan, terdapat seorang bayi, dan dua orang dewasa. Mereka duduk dalam posisi melingkar. Kemudian masuk satu orang lain yang membawa kotak besar berwarna putih ke arah mereka. Setelah meletakkan kotak tersebut di tengah-tengah mereka, orang tersebut langsung membuka tutupnya agar keluar isinya. Apa yang terjadi...? ternyata setelah dibuka, terlihat ada tiga ular kobra berwarna hitam dan besar yang keluar dari kotak tersebut. Langsung saja, salah seorang dari mereka lari ketakutan, sedangkan yang lainnya justru berani mendekat untuk memegang ular agar tidak membahayakan, dan, tentu saja, si bayi yang ada di dekatnya tetap tidak memperlihatkan respon apa-apa terhadap ular.
Nah, begitu juga dengan kehidupan manusia di dunia ini. Kita semua dihadapkan dengan permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi. Akan tetapi respon yang kita berikan terhadap permasalahan tersebut berbeda-beda. Di antara kita, ada yang hidup penuh semangat, sedangkan yang lainnya hidup penuh malas dan putus asa. Di antara kita juga ada yang hidup dengan keluarga yang damai dan tenang, sedangkan di antara kita juga ada yang hidup dengan kondisi keluarga yang berantakan. Di antara kita juga ada yang hidup dengan perasaan bahagia dan ceria, sedangkan yang lain hidup dengan penuh penderitaan dan keluhan. Padahal kita semua berangkat dari kondisi yang sama, yaitu kondisi ketika masih kecil yang penuh semangat, ceria, bahagia, dan tidak ada rasa takut atau pun rasa sedih.
Pertanyaannya yang ingin diajukan di sini adalah “Mengapa untuk permasalahan yang sama, yaitu kehidupan duniawi, kita mengambil respon yang berbeda-beda?” jawabannya dikarenakan oleh kesan yang berbeda dan kesan tersebut dihasilkan dari pola pikir dan kepercayaan yang berbeda mengenai objek tersebut. Untuk lebih jelas, berikut penjelasannya.
Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun. Pondasi tersebut adalah kepercayaan tertentu dan konsep diri. Jika sejak kecil kedua orang tua selalu bertengkar lalu bercerai, maka seorang anak bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa perkawinan itu penderitaan. Tetapi, jika kedua orang tua selalu menunjukkan rasa saling menghormati dengan bentuk komunikasi yang akrab maka anak akan menyimpulkan ternyata pernikahan itu indah. Semua ini akan berdampak ketika sudah tumbuh dewasa.
Selanjutnya, semua pengalaman hidup yang berasal dari lingkungan kerabat, sekolah, televisi, internet, buku, majalah, dan berbagai sumber lainnya menambah pengetahuan yang akan mengantarkan seseorang memiliki kemampuan yang semakin besar untuk dapat menganalisis dan menalar objek luar. Mulai dari sinilah, peran pikiran sadar (conscious)menjadi semakin dominan. Seiring perjalanan waktu, maka penyaringan terhadap informasi yang masuk melalui pikiran sadar menjadi lebih ketat sehingga tidak sembarang informasi yang masuk melalui panca indera dapat mudah dan langsung diterima oleh pikiran bawah sadar.
Semakin banyak informasi yang diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Dengan kata lain, setiap individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image), dan kebiasaan (habit) yang unik. Jika sistem kepercayaannya benar dan selaras, karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan semakin membahagiakan. Sebaliknya, jika sistem kepercayaannya tidak selaras, karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi banyak permasalahan dan penderitaan.
Kita ambil sebuah contoh. Ketika masih kecil, kebanyakan dari anak-anak memiliki konsep diri yang bagus. Mereka ceria, semangat, dan berani. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih. Mereka selalu merasa bahwa dirinya mampu melakukan banyak hal. Karena itu, mereka mendapatkan banyak hal. Kita bisa melihat saat mereka belajar berjalan dan jatuh, mereka akan bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi, sampai akhirnya mereka bisa berjalan seperti kita.
Akan tetapi, ketika mereka telah memasuki sekolah, mereka mengalami banyak perubahan mengenai konsep diri mereka. Di antara mereka mungkin merasa bahwa dirinya bodoh. Akhirnya mereka putus asa. Kepercayaan ini semakin diperkuat lagi setelah mengetahui bahwa nilai yang didapatkannya berada di bawah rata-rata dan orang tua mereka juga mengatakan bahwa mereka memang adalah anak-anak yang bodoh. Tentu saja, dampak negatif dari konsep diri yang buruk ini bisa membuat mereka merasa kurang percaya diri dan sulit untuk berkembang di kelak kemudian hari.
Padahal, jika dikaji lebih lanjut, kita dapat menemukan banyak penjelasan mengapa mereka mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Mungkin, proses pembelajaran tidak sesuai dengan tipe anak, atau pengajar yang kurang menarik, atau mungkin kondisi belajar yang kurang mendukung. Dengan kata lain, pada hakikatnya, anak-anak itu pintar tetapi karena kondisi yang memberikan kesan mereka bodoh, maka mereka meyakini dirinya bodoh. Inilah konsep diri yang buruk.
Contoh yang lainnya, mayoritas ketika masih kanak-kanak, mereka tetap ceria walau kondisi ekonomi keluarganya rendah. Namun seiring perjalanan waktu, anak tersebut mungkin sering menonton sinetron yang menayangkan bahwa kondisi orang miskin selalu lemah dan mengalami banyak penderitaan dari orang kaya. Akhirnya, anak ini memegang kepercayaan bahwa orang miskin itu menderita dan tidak berdaya dan orang kaya itu jahat. Selama kepercayaan ini dipegang, maka ketika dewasa, anak ini akan sulit menjadi orang yang kuat secara ekonomi, sebab keinginan untuk menjadi kaya bertentangan dengan keyakinannya yang menyatakan bahwa orang kaya itu jahat. Kepercayaan ini hanya akan melahirkan perilaku yang mudah berkeluh kesah dan menutup diri untuk bekerjasama dengan mereka yang dirasa lebih kaya.
3.      Pembagian Karakter Manusia

 Fajri menguraikan, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seorang dari yang lain, tabiat, watak yang menjadi ciri khas seseorang (Depdiknas, 2007 : 442).
Penempatan pembahasan ahlak dalam satu bab khusus disini mengingat kedudukannya yang istimewa didalam pendidikan islam. Akhlak tidak hanya menjadi dasar, tetapi juga telah memberi inspirasi bagi terbentuknya teori pendidikan yang komprehensif (Aly, 2000 : 149)
A.     Karakter
Hipocrates dalam Darwis (2009) menggolongkan manusia dalam empat jenis karakter, yaitu :
1.       Sanguine : Pembicara, Orang sanguin sangat gampang dikenali. Dia adalah pusat perhatian, selalu riang, ramah, bersemangat, suka bergaul atau luwes dan suka berbicara. Segala sesuatu yang dihadapi dianggap sangat penting hingga dilebih-lebihkan tapi selalu pula dapat dilupakan begitu saja. Inilah salah satu kejelekan mereka disamping tidak disiplin, tidak bisa tenang atau gelisah, tidak dapat diandalkan dan cenderung egois.
2.       Kolerik : Pemimpi, Seorang kolerik amat suka memerintah. Dia penuh dengan ide-ide, tapi tidak mau diganggu dengan pelaksanaannya sehingga lebih suka menyuruh orang lain untuk menjalankannya. Kemauannya yang keras, optimistik, tegas, produktif dipadu dengan kegemaran untuk berpenampilan megah, suka formalitas dan kebanggan diri menjadikannya seseorang yang berbakat pemimpin.
Tapi karena dia juga senang menguasai seseorang, tidak acuh, licik, bisa sangat tidak berperasaan ( sarkastis) terhadap orang dekatnya sekalipun, akan menjadikan dia sangat dibenci.
3.       Melankolik : Pelaksana, Segala sesuatu amat penting bagi dia. Perasaannya adalah hal yang paling utama. Justru karena itu dia melihat sisi seni sesuatu, idealis, cermat, dan amat perfeksionis. Kelemahannya ialah ia selalu berpikir negatif, berprasangka buruk, yang membuatnya khawatir, dan sibuk berpikir.
4.       Flegmatik : Penonton, Orangnya tenang, lembut, efisien, kurang bergairah, tapi juga tidak gampang kena pengaruh. Orang-orang akan menyangka dia tidak berminat atau tidak tertarik disebabkan oleh lamanya dia mengambil tindakan atas sesuatu. Dia bertindak atas dasar keyakinannya bukan atas dorongan naluri. Suka melindungi diri, tidak tegas, penakut, kikir adalah kelemahannya.
Dari keempat temperamen diatas, seseorang mungkin memiliki suatu jenis kepribadian utama yang dipengaruhi oleh kepribadian lain. Jadi bagaimana cara kita agar karakter yang kita bentuk sesuai dengan apa yang kita inginkan. Setelah karakter yang kita inginkan sudah kita temukan maka selanjutnya kita hanya berusaha untuk terus melanjutkan karakter seperti apa yang telah kita munculkan dari awal tadi.
B.     Pengertian  pengemis
Realitas kehidupan sosial tidak luput dengan prilaku dan pola dari masyarakat itu sendiri. Salah satunya adalah pengemis atau sebagian orang menyebutnya dengan “Gepeng” Gelandangan dan Pengemis, potret sosial ini sering ditemukan dalam kehidupan. Adapun pengertian pengemis menurut Perpu No. 30 Tahun 1980 yang dikutip dalam buku Engkus Kuswarno, menyatakan :
“Orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain”.
Berbeda dengan istilah pengemis dalam handout nya yang diartikan oleh Dinas Sosial adalah PMKS (Penyandang masalah kesejahteraan sosial).
“Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan minta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang”
Dari pengertian diatas, selanjutnya bisa dilihat dari kelompok-kelompok pengemis yang membedakan satu sama lain diantara pengemis yang ada.

1.      Kelompok Pengemis
Dalam hal ini pengemis pun memiliki kelompok-kelompok yang membedakan motif-motif pengemis satu sama lain, Menurut Sudarianto dalam catatan online nya dimana pengemis dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok pengemis, antara lain :


1.      Mengemis karena tak mampu bekerja, Pada kategori ini dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kelainan fisik pada anggota tubuhnya. Misalnya tak mampu bekerja karena tidak memiliki tangan, kaki, lumpuh, buta dan lain-lain
2.      Mengemis karena malas bekerja, Pengemis karena malas bekerja inilah yang menyebabkan jumlah pegemis di Indonesia sangat banyak. Pengemis pada kategori ini, orangnya mempunyai anggota tubuh yang sangat lengkap namun dihinggapi penyakit malas. Pengemis semacam inilah yang harus diberantas oleh pemerintah.
3.      Mengemis karena menginginkan jabatan, Pengemis semacam inilah yang merusak atau menghambat pembangunan di Indonesia. Mereka yang tergolong pada kelompok ini mengemis pada atasannya dengan berbagai cara untuk memperoleh job atau jabatan. Ada yang selalu bersilaturrahmi ke rumah atasannya, ada yang selalu memberikan hadiah kepada atasannya, ada juga yang gila hormat kepada atasannya, dan lain sebagainya.
Adapun menurut Hanitijo Soemitro dalam karya ilmiah Asmawi, pengemis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1.      Pengemis Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal tertentu maupun tidak, yang penghidupan seluruhnya atas dasar meminta-minta pada waktu tertentu.
2.      Pengemis Tidak Murni, Ialah mereka yang mempunyai tempat tinggal yang sebagian penghasilannya diperoleh dari meminta-minta pada waktu tertentu. (Asmawi, 2003:15)
Fakta sosial yang satu ini merupakan akibat dari sebabnya seseorang melakukan suatu tindakan, namun penyebab tersebut bisa mengkategorikan hal ini.
Sebagaimana penelitian tentang pengemis oleh Dr. Engkus Kuswarno (Penelitian Konstruksi Simbolik Pengemis Kota Bandung) menyebut ada lima ketegori pengemis menurut sebab menjadi pengemis, yaitu:

1.      Pengemis berpengalaman: lahir karena tradisi, Bagi pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan mengemis adalah sebuah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif sebab).
2.      Pengemis kontemporer kontinyu tertutup: hidup tanpa alternatif, Bagi kelompok pengemis yang hidup tanpa alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinyu mengemis, tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan bekerja yang akan menjamin hidupnya dan mendapatkan uang.
3.      Pengemis kontemporer kontinyu terbuka: hidup dengan peluang, Mereka masih memiliki alternatif pilihan, karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak dapat berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan peluang tersebut.
4.      Pengemis kontemporer temporer: hidup musiman, Pengemis yang hanya sementara dan bergantung pada kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah asalnya karena musim kemarau atau gagal panen menjadi salah satu pemicu berkembangnya kelompok ini.
5.      Pengemis berencana: berjuang dengan harapan, Pengemis yang hidup berjuang dengan harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara (kontemporer). Mereka mengemis sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan lain setelah waktu dan situasinya dipandang cukup.
2.      Faktor-faktor menjadi pengemis
Fenomena pengemis yang menjadi bagian dari fakta sosial kehidupan kita tidak lantas dari faktor-faktor yang melatar belakangiseseorang tersebut mengemis atau meminta-minta dihadapan calon dermawannya. Banyak yang menyatakan faktor ekonomilah yang menjadi faktor utama mengemis, namun sebenarnya tidak hanya itu. Karena pengemis memiliki tujuannya masing-masing yang dipengaruhi oleh mental, akal pikiran dari pengemis terkait.
Secara lebih rinci, dalam prakteknya ada lima jenis pengemis yang disebabkan karena keterbatasan aset dan sumber ekonomi, rendahnya mutu mental seperti rasa malu dan spirit mandiri yang kurang. Dan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya mengemis, diantaranya sebagai berikut :

1.      Mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali, Mengemis dikarenakan tidak berdaya baik dari segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.
2.      Mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan, Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.
3.      Mengemis musiman, Misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemis temporer menjadi pengemis permanen.
4.      Mengemis karena miskin mental, Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.
5.      Mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat, Sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis “anggota” setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.
Adapun menurut Artidjo Alkostar dalam karya ilmiah Herawady, menyembutkan beberapa hal yang menjadi faktor timbulnya gelandangan dan pengemis, yaitu :

Faktor Intern
1. Sifat Malas
2. Faktor Fisik
3. Faktor Psikis atau Kejiwaan
4. Mental yang tidak kuat
b. Faktor Eksternal
1. Faktor Ekonomi
2. Faktor Geografi
3. Faktor Sosial
4. Faktor Pendidikan
5. Faktor Psikologis
6. Faktor Kultural
7. Faktor Keluarga dan Mental, dan
8. Kurangya dasar-dasar agama. (Herawady, 2002:11-13)
Menjadi pengemis bukanlah suatu pilihan dalam menjalani hidup, namun keberadaannya bukanlah lahir dengan sendirinya. Melainkan faktor-faktor yang mendukung seseorang tersebut melakukan hal tersebut.
3.      Ekses-ekses yang timbul karena adanya pengemis
Bertitik tolak kepada pengertian dan ciri-ciri serta tingkah pola, cara hidupnya, serta perbuatannya memang bukan mustahil kalau adanya gelandangan dan pengemis ini akan membawa ekses. Secara sepintas saja sudah dapat dilihat yaitu : menganggu keindahan lingkungan belum lagi ditinjau dari segi kesehatan.
Secara keseluruhan dapat pula mempengaruhi lajunya pembangunan bangsa. Dalam karya ilmiah Asep Maryun menyatakan, Ekses-ekses yang timbul karena gelandangan dan pengemis, ialah :

1.       Mempengaruhi lajunya pembangunan
2.       Menganggu keindahan lingkungan hidup
3.       Menimbulkan gambaran buruk terhadap bangsa
4.       Gangguan keamanan dan ketertiban
5.       Mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitarnya
6.       Mewarisi kehidupan bodoh
7.       Menganggu kelancaran pendataan penduduk
8.       Berkembang menjadi tuna susila
9.       Kemungkinan pembawa sumber penyakit, dan
10.   Hilangnya percaya diri. (Maryun, 1987:50-51)















BAB III
Metode Penelitian
A.     Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lesan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2000: 3).
Metode penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting) dan data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif. Metode kualitatif lebih berdasarkan pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan dan berusaha untuk memahami serta menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.
Pendekatan yang digunakan di alam penelitian ini adalah deskriptif analitik, yaitu data yang diperoleh tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka statistik, melainkan dalam bentuk kualitatif. Dengan memberi pemaparan gambaran mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif. Dalam penelitian ini akan diperoleh gambaran mengenai kehidupan atau karakteristik pengemis di mana karakter di sini meliputi kehidupan sosial dan status sosialnya, keadaan ekonomi , pendidikan dan aspirasi atau harapan-harapan mereka untuk masa yang akan datang serta partisipasi pemulung itu dalam menciptakan kebersihan lingkungan.
Dengan dasar tersebut, maka penelitian kualitatif diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan pemulung dan permasalahan yang melingkupinya sehingga dapat memaparkan secara lebih jelas dan berkualitas.
  1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat di mana penelitian dilakukan. Mengacu pada lokasi ini yaitu wilayah tertentu atau suatu lembaga tertentu dalam masyarakat. Adapun lokasi dalam penelitian ini adalah tempat-tempat dimana para pemulung itu bertempat tinggal dan melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Kota Malang, namun karena pekerjaan ini dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Dukuh Arjosari maka lokasi penelitian akan lebih difokuskan di Dukuh Arjosari dan pada daerah yang dijadikan sebagai tempat mereka beraktivitas.
1.      Fokus Penelitian
Fokus penelitian menyatakan pokok persoalan apa yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian. Penetapan fokus penelitian merupakan tahap yang sangat menentukan dalam penelitian kualitatif. Hal ini karena suatu penelitian kualitatif tidak dimulai dari sesuatu yang kosong atau tanpa adanya masalah, baik masalah- masalah yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui kepustakaan ilmiah (Moleong, 2000: 62). Jadi fokus dalam penelitian kualitatif sebenarnya adalah masalah itu sendiri.
Yang dijadikan fokus penelitian ini adalah tentang profil pemulung di  Kota Malang Dukuh Arjosarai, di mana karakter di sini meliputi: kehidupan sosial dan status sosialnya (mengenai hubungan sosialisasi antara para pengemis dengan warga yang lain serta mengenai jenis pengelompokan kelas-kelas sosial mereka), keadaan ekonomi (mengenai jumlah penghasilan yang mereka peroleh setiap harinya guna memenuhi kebutuhan minimum atau dasar dan juga mengenai tingkat kemakmuran dan kesejahteraan keluarga pengemis), pendidikan (mengenai jenjang pendidikan mereka yang berdampak pada kualitas sumber daya yang mereka miliki sehingga mempengaruhi jumlah pendapatan pada jenis pekerjaan mereka) dan aspirasi atau harapan-harapan mereka untuk masa yang akan datang serta partisipasinya dalam menciptakan kebersihan lingkungan yang meliputi partisipasi dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pendanaan.
2.      Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian menyatakan berasal darimana data penelitian dapat di peroleh.Yang menjadi sumber data penelitian dalam penelitian ini adalah:
3.      Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 2000: 90). Informan yang dimaksud di sini adalah aparat Pemerintah dan masyarakat di Desa Sukorejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang.
4.      Responden
Responden adalah orang yang memberikan informasi dan merupakan sumber data utama dalam suatu penelitian. Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Sukorejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang yang mempunyai pekerjaan sebagai pemulung khususnya di Dukuh Deliksari karena mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai pemulung.
5.      Dokumen
Dokumen di sini berupa buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti, jurnal, buletin, majalah ilmiah, laporan penelitian, dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen yaitu setiap bahan tertulis atau film (Moleong, 2000: 161). Hal itu dimaksudkan untuk mempertajam metodologi, memperdalam kajian teoritis dan memperoleh informasi mengenai penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh para peneliti lain.
  1. Metode Pengumpulan Data
Mengumpulkan data merupakan pekerjaan penting dalam penelitian.Guna mendapatkan informasi yang diharapkan, pengumpulan data dilakukan melalui metode :
  1. Observasi

Observasi atau yang disebut pula pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan selruh alat indera. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. (Rachman, 1999: 133). Observasi dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Pelaksanaan teknis observasi dapat dilakukan dalam beberapa cara yaitu dilakukan secara teratur dan sistematis dengan melihat pedoman sebagai instrumen pengamatan. Observasi tersebut dilakukan secara langsung terhadap apa yang tampak pada perilaku para pemulung di daerah itu.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode observasi langsung yaitu di Dukuh Arjosari Kota Malang. Pengamatan dilakukan sendiri secara langsung di tempat yang menjadi objek penelitian, sedangkan objek yang diamati adalah profil dari masyarakat itu yang bekerja sebagai pengemis.
  1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2000: 135). Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang. Dalam mewawancarai bisa dilakukan secara individu maupun dalam bentuk kelompok sehingga peneliti mendapatkan data informatif yang otentik.
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tak terstruktur atau wawancara bebas terpimpin, yaitu wawancara dengan membuat pedoman pertanyaan yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang menghendaki jawaban yang luas. Wawancara ini dapat dikembangkan apabila dianggap perlu agar mendapatkan informasi yang lebih lengkap atau dapat pula dihentikan apabila dirasakan telah cukup informasi yang didapatkan atau diharapkan.
Melalui wawancara ini, peneliti berharap bisa memperoleh gambaran dan data-data mengenai profil pemulung yang bertempat tinggal di Dukuh Arjosari Kota Malang dan juga mengenai partisipasinya dalam menciptakan kebersihan lingkungan.
  1. Dokumentasi
Menurut Guba dan Lincoln (Moleong 2000: 161) dokumentasi adalah setiap bahan tertulis atau film. Dokumen digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.
Dalam penelitian kualitatif teknik ini merupakan alat pengumpul data yang utama karena pembuktian hipotesisnya yang diajarkan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori atau hukum-hukum yang diterima, baik mendukung atau menolak hipotesis tersebut (Rachman, 1999: 96). Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, legger, agenda dan lain sebagainya (Rachman, 1999: 236).
Metode dokumentasi dilakukan dengan cara atau metode di mana peneliti melakukan kegiatan pencatatan terhadap data-data yang ada di Dukuh Arjosari Kota Malang baik itu data mengenai penduduk, sosial dan budaya maupun data kondisi daerah. Data yang didapatkan tersebut dapat pula untuk memperkuat apa yang terdapat di lapangan saat wawancara dan observasi.
D.     Validitas Data
Validitas data adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan, dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Rachman, 1999: 144).
Validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2000: 178)
Untuk menggunakan teknik triangulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakannya secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintah.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan
(Patton dalam Moleong, 2000: 178).
Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
  1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
Pengamatan
 
 

 
Wawancara
 
 


Sumber data yang berasal dari pedoman wawancara, dibandingkan antara pengamatan di lapangan seperti aktivitas pemulung dan hasil wawancara dengan pemulung itu sendiri. Tujuannya adalah untuk menemukan kesamaan dalam mengungkap.
  1. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. Sumber data Wawancara Pengamatan
Dalam teknik ini membandingkan hasil wawancara antara responden A dengan responden B dengan menggunakan pedoman wawancara yang sama, tujuannya adalah agar didapatkan hasil penelitian yang diharapkan sesuai dengan fokus penelitian.
  1. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan data, maka diadakan suatu analisis data untuk mengolah data yang ada. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2000: 103).
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2000: 103).
Analisis data dilakukan secara induktif, yaitu mulai dari lapangan atau fakta empiris dengan cara terjun ke lapangan, mempelajari, menganalisis, menafsir dam menarik kesimpulan dari fenomena yang ada di lapangan. Analisis data di dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data.
Model analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif. Dalam model ini berawal pada proses pengumpulan data. Pada waktu peneliti berada di lokasi penelitian, peneliti membuat catatan lapangan yang berisi segala informasi yang berhubungan dengan penelitian dalam hal ini tentang karakter pengemis di Desa Arjosari Kota Malang dan partisipasinya dalam menciptakan kebersihan lingkungan, informasi tersebut berasal dari hasil observasi dan wawancara dengan para informan dan responden.
Berdasarkan pada catatan lapangan tersebut, dipilah-pilah data yang sesuai dengan tujuan penelitian dan kemudian menyusun sajian data yang berupa cerita sistematis dengan menggunakan alat-alat yang diperlukan sebagai dukungan sajian saja. Sajian data ini disusun pada waktu didapatkan unit data dan sejumlah unit yang diperlukan, setelah itu ditarik kesimpulan denga verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam sajian datanya.
Bila kesimpulannya dirasa kurang mantap karena terdapat kekurangan data dalam sajian data, maka dapat digali dalam catatan lapangan. Bila ternyata dalam catatan lapangan juga tidak diperoleh data pendukung yang dimaksud, maka kembali ke lokasi penelitian untuk melakukan pengumpulan data khusus bagi pendalaman dukungan yang diperlukan.
Menurut Miles dan Huberman (dalam Rachman, 1999: 120). Tahapan
analisis data adalah sebagai berikut :
  1. Pengumpulan data
Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan
  1. Reduksi data yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Di mana reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi. Data-data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentanghasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu-waktu diperlukan.
  2. Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data merupakan analisis dalam bentuk matrik, network, chart atau grafis. Sehingga peneliti dapat menguasai data. Pengambilan keputusan atau verfikasi
  3. Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang diperoleh. Untuk itu, peneliti berusaha mencari pula, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Jadi dari data tersebut peneliti mencoba mengambil keputusan. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat yaitu dengan cara mengumpulkan data baru. Dalam pengambilan keputusan, didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Tahapan analisis data kualitatif di atas dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Pengambilan
Kumpulan atau Verifikasi
 
Sajian Data
 
Reduksi Data
 
Pengumpulan Data
 

Sumber : Miles dan Huberman dalam Rachman (1999: 120)
Keempat komponen tersebut saling mempengaruhi dan terkait. Pertama- tama peneliti melakukan penelitian di lapangan dengan mengadakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data yang dikumpulkan banyak maka diadakan reduksi data, setelah direduksi kemudian diadakan sajian data, selain itu pengumpulan data juga digunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga tahapan tersebut selesai dilakukan, maka diambil suatu keputusan atau verifikasi.














DAFTAR PUSTAKA
Born Losers: A History of Failure in America, by Scott A. Sandage (Harvard University Press, 2005).
George Boeree. 2008. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie. Hal. 64-65.(teori super ego)
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka( poerwadaminta
Tirtarahardja Umar dan Sulo La. 2005.Pengantar Pendidikan(Edisi Revisi).Jakarta: PT. RINEKA CIPTA
N.K. Singh dan Mr. A.R. Agwan, Encyclopaedia of the Holy Qur’ân, (New Delhi: balaji Offset, 2000) Edisi I h. 175
Rhonda Byrne, The Secret, (Jakarta: PT Gramedia, 2007), h.17
 Joseph Murphy D.R.S., Rahasia Kekuatan Pikiran Bawah Sadar, (Jakarta, SPEKTRUM, 2002), h. 6.
Adi W. Gunawan, Hypnosis – The Art of Subconscious Communication, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005) h. 27-30.
 Adi W. Gunawan dan Ariesandi Setyono, Manage Your Mind for Success, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006) h. 38
 Ariesandi Setyono, Hypnoparenting: Menjadi Orangtua Efektif dengan Hipnosis,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 50
Moleong, L. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang : IKIP Semarang Press
Depdikbud. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud