Kamis, 12 Januari 2012

makalah otonomi daerah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
     Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
            Sebagai respon atas tuntutan reformasi pemerintah dengan cukup cepat telah mela-kukan pembahan yang cukup mendasar atas berbagai UU dalam bidang politik dari yang berwatak sentralistisotoritarian ke otonomi-demokratis. Setelah berhasil menyusun tiga UU bidang politik yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu tahun 1999 pemerintah segera menyusulinya dengan UU baru dalam bidang politik khusus mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

            Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini menyangkut masalah yang sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) yang selama era Orde Baru sangat timpang karena hampir seluruh kekuasaan bertumpu di tangan pemerintah Pusat tepatnya di tangan Presiden.

            Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini menjadi kehamsan paling tidak dua
alasan. Pertama, demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan
otonomi daerah menjadi tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah satu
dari lima hati nurani global (global conciousnes) Kedua, pengalaman Indonesia dengan sistem otoriter yang mengabaikan otonomi daerah terbukti telah menyimpan
api yang kemudian menyulut lahimya kritis politik, bahkan yang terjadi belakangan ini krisis politik telah. memancing fenomena disintegrasi.


Demokrasi dan Otonomi
            Ketika para pendiri negara Republik Indonesia bersepakat untuk mendirikan sebuah negara berdasar prinsip demokrasi maka dengan sendirinya prinsip otonomi daerah juga menyertainya. Hal ini menjadi niscaya karena salah satu tuntutan penting bagi sebuah sistem demokrasi adalah adanya pemencaran kekuasaan baik secara horizontal (ke samping) tinggi negara yang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA, dan DPA, sedangkan pemencaran hodsontal ditandai oleh adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Bahwa adanya desentralisasi dan otonomi daerah diyakini oleh Bapak-bapak pendiri negara Republik Indonesia sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dapat dipahami dari pemyataan Hatta bahwa:
“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah...Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan sendiri) dan Zelfgbestuur (menjalankan peraturan peraturan yang dibuat oleh Dewan yang lebih tinggi) ... Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlain-lain”. (Hatta, 1976 : 103).

            Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada jaminan kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan dengan apa yang dikutip Robert Rienow (1966 : 573) dari Tocqueville yang mengatakan juga bahwa suatu negara merdeka yang tidak membangun institusi pemerintahan di tingkat daerah adalah pemerintahan yang tidak membangun semangat kedaulatan rakyat sebab didalamnya tidak ada kebebasan. Salah satu karakter menonjol dari demokrasi, kata Toqcueville, adalah adanya kebebasan sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah minimal ada dua macam : pertama, membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri persoalan-persoalan di daerahnya sekaligus mencari pemecahannya; kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan beragam untuk membuat aturan dan programnya sendiri.

            Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor yang menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah : pertama, untuk mewujudkan prinsip kebebasan {liberty)\ kedua, untuk membiasakan rakyat berupaya untuk mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan dirinya; ke-tiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan dan kebutuhan beragam. Meskipun begitu memang tidak dapat dipungkiri begitu saja kenyataan bahwa di negara yang menganut sistem sentralisasi pun mungkin dapat tumbuh demokrasi, namun adanya otonomi daerah dan desentralisasi akan jauh lebih menjamin tumbuhnya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya.

            (Kelsen, 1973 : 312). Atas dasar pemikiran yang demikianlah dapat dipahami bahwa
undang-undang yang pertama kali lahir di negara Republik Indonesia adalah UU
tentang otonomi daerah yakni UU No. 1 Tahun 1945.



1.2  Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui dan memperluas pengetahuan, bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


1.3  Tujuan Khusus
Dapat kami paparkan tujuan-tujuan khusus Otonomi Daerah, diantaranya:
-         Mengetahui masalah-masalah yang menjadi kewenangan atau acuan program suatu daerah dalam meningkatkan produktivitas dalam bidang tertentu.
-         Mengetahui sejauh mana arah dan sasaran suatu daerah dalam pencapaian menuju sutu daerah yang otonom.
-         Mengetahui tingkat keberhasilan dalam pencapaian program/bidang tertentu sehingga suatu daerah bisa menjadi daerah otonom.      





















BAB III
Pembahasan
OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah pada faktanya telah menimbulkan empat problem.

Dasar Hukum
Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
  1. Undang-undang Dasar
Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
  1. Ketetapan MPR-RI
Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  1. Undang-Undang
    Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
 Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1.   Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.   Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3.   Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
4.   Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah Kota.
 Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :
1.   Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.   Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3.   Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan Otonomi Terbatas.
4.   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5.   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
6.   Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom.
7.   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
8.   Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
9.   Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Empat Problem Otonomi Daerah
Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.
Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.
Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.
Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman korporatokrasi/konglomeratokrasi.
Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.
Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di Indonesia mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5 juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). Indonesia memang negeri yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan semakin berlubang.
Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan otonomi, harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. Kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional.
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :

  1. UU No. 1 tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.
  1. UU No. 22 tahun 1948
Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
  1. UU No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.
  1. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.
  1. UU No. 18 tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
  1. UU No. 5 tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu nasional.
7.   UU No. 22 tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
 Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
1.   Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2.   Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
3.   Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
4.   Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
5.   Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
6.   Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
7.   Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
8.   Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:
o    Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
o    Pengaturan kepentingan administratif;
o    Pengaturan tata ruang;
o    Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan
o    Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
9.   Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
11.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi:
1.   PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
o    Hasil pajak daerah
o    Hasil restribusi daerah
o    Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
·        Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro

2.   DANA PERIMBANGAN
o    Dana Bagi Hasil
o    Dana Alokasi Umum (DAU)
o    Dana Alokasi Khusus
3.   PINJAMAN DAERAH
o    Pinjaman Dalam Negeri
1.   Pemerintah pusat
2.   Lembaga keuangan bank
3.   Lembaga keuangan bukan bank
4.   Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)
o    Pinjaman Luar Negeri
1.   Pinjaman bilateral
2.   Pinjaman multilateral
4.   Lain-lain pendapatan daerah yang sah;
o    hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya,
o    penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan









Proses Otonomi Daerah di Indonesia
            Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
            Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
            Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah.
            Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):
1.         Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara demokratis
2.         Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan kesejahteraan dan demokrasi
3.    Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik
4.    Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence)
5.    Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan

Konsep Kebijakan Fiskal Daerah
            Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga menyangkut paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi. Desentralisasi ekonomi mencakup aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan pada level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama proses
desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal meliputi:
  1. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang pelayanan publik
  2. Peningkatan PAD
  3. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat
  4. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil
  5. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan daerah

            Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan fiskal
nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan anggaran, yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint.
Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran. Sebaliknya, berdasarkan soft budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih dahulu kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut. Dalam pendekatan yang pertama, potensi merupakan pertimbangan utama, sementara pada pendekatan kedua, kebutuhanlah yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko, 2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka Kadjatmiko (2006) berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk digunakan.
Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005). Elemen tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi daerah adalah melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Otonomi Daerah dan Good Governance
            Ketiga fase yang dijelaskan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah. Proses ini membutuhkan penerapan prinsip-prinsip good governance yang menyeluruh dan terpadu. Adapun prinsipprinsip good governance adalah:1
  1. Partisipasi; mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, Pemerintah Daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
  2. Penegakan hukum; mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan kewenangannya, Pemerintah Daerah harus mendukung tegaknya supremasi hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan perundangundangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Di samping itu Pemerintah Daerah perlu mengupayakan adanya peraturan daerah yang bijaksana dan efektif, serta didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
  3. Transparansi; menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah Daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah Daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada masyarakat.
  4. Kesetaraan; memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menjamin agar kepentingan pihak-pihak yang kurang beruntung, seperti mereka yang miskin dan lemah, tetap terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kaum minoritas agar mereka tidak tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan disusun untuk menjamin adanya kesetaraan terhadap wanita dan kaum minoritas baik dalam lembaga eksekutif dan legislatif.
  5. Daya tanggap; meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah Daerah perlu membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk show, layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat, Pemerintah Daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara periodik mengumpulkan pendapat masyarakat.
  6. Wawasan ke depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya. Tujuan penyusunan visi dan strategi adalah untuk memberikan arah pembangunan secara umun sehingga dapat membantu dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif. Untuk menjadi visi yang dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun secara terbuka dan transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha. Pemerintah Daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum konsultasi masyarakat, serta membuat berbagai produk yang dapat digunakan oleh masyarakat.
  7. Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada masyarakat. Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi.
  8. Pengawasan; meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang perlu memberi peluang bagi masyarakat dan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi, dan pengawasan kerja, sesuai bidangnya. Walaupun demikian tetap diperlukan adanya auditor independen dari luar dan hasil audit perlu dipublikasikan kepada masyarakat.
  9. Efisiensi dan efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab. Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan didukung mekanisme penganggaran serta pengawasan yang rasional dan transparan. Lembagalembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus menginformasikan tentang biaya dan jenis pelayananya. Untuk menciptakan efisiensi harus digunakanteknik manajemen modern untuk administrasi kecamatan dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat keluruhan/desa.
  10. Profesionalisme; meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. Tujuannya adalah menciptakan birokrasi profesional yang dapat efektif memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini perlu didukung dengan mekanisme penerimaan staf yang efektif, sistem pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif, penilaian, promosi, dan penggajian staf yang wajar. Penerapan Otonomi Daerah dengan mengacu pada prinsip-prinsip good governance tersebut difasilitasi oleh Pemerintah Pusat dengan meningkatkan alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke daerah. Secara umum, sumber pendapatan daerah terutama berasal dari:
1.      Dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam
2.      Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan retribusi daerah.

Dari kedua sumber pendapatan daerah tersebut masih didominasi oleh Dana Perimbangan. Dana Perimbangan tersebut jumlahnya cenderung selalu meningkat sejak digulirkan pada tahun 2001 baik dilihat dari nilai nominal maupun dari persentasenya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan domestik neto (PDN). Tabel 1 menunjukkan pekembangan Dana Perimbangan tahun 2003-2006. DAU adalah komponen Dana Perimbangan yang paling besar. DAU merupakan transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang berbentuk block grant. DAU dihitung berdasarkan formula kesenjangan fiskal (selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah). Sejak tahun 2001, formula DAU telah mengalami beberapa kali perubahan. Formula DAU untuk tahun 2006 disusun berdasarkan UU No. 33/2004 ditunjukkan oleh Gambar 1. DAU masih menjadi sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata, persentase DAU terhadap APBD berkisar antara 70-80 persen.

Dana Perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu daerah dalam membiayai:
  1. Kebutuhan khusus (UU No. 25 Tahun 2000 dan PP No. 104 Tahun 2000)
  2. Kegiatan khusus (UU No. 33 Tahun 2004, PP No. 55 Tahun 2005, dan Nota Keuangan dan RAPBN 2006)
DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai dari dana tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Hal-hal yang termasuk kebutuhan khusus yaitu:
  1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi umum dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional
  2. kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil.












BAB III
KESIMPULAN

            Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang/sektor yang sudah menjamur diwilayah khususnya Indonesia, baik itu dari sektor industri, pertanian,  peternakan, perikanan, perkebunan dan sebagainya, maka persaingan pun akan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh sebuah wilayah untuk mewujudkan suatu daerah yang otonom.
            Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya-upaya yang akan menjadi sasaran atau pedoman dalam peningkatan mutu dan sekaligus dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu daerah yang otonom. Beberapa hal tersebut diantaranya yaitu:
1.   Adanya dasar hukum  yang menjadi landasan dalam mewujudkan suatu program otonomi daerah.
2.   Tersedianya sumber daya manusia(SDM) yang berkualitas dan sumber daya alam(SDA) yang memadai guna lancarnya otonomi tersebut.
3.      Harus memperhatikan arah/sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
4.    Kehidupan berpolitik.
diantaranya yaitu:
·        Demokrasi pancasila dan Partisipasi masyarakat
·         Kehidupan konstitusional Baik :
                     Demokrasi
                     Hukum
                     Kepemimpinan nasional
                     Fungsi lembaga tinggi negara
                     Dan lembaga-lembaga tinggi negara
5.      Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga  negara Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Rusdi, 2007, “Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja”, dipresentasikan dalam Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, World Bank Institute, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-FEUGM), dan Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD), Yogyakarta, 26-27 Januari.
Asian Development Bank, 2005, “Capacity Building to Support Decentralization in Indonesia”, Technical Assistance Performance Evaluation Report.
Benu, Fredrik, 2006, “Anggaran Berbasis Kinerja”, dipresentasikan dalam Financial Management Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia, Washington D.C.
Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun 2007, Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon I Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November.
Kadjatmiko, 2006, Local Fiscal Policy”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Kristiadi, J.B., 2006, Preface”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget Accountability, Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005, “Strengthening Core Local Government Competencies”, Modul Pelatihan.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2006, “District and Provincial Economic Development Training”, Modul Pelatihan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2007
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar